KONDISI SOSIAL UMAT ISLAM SETELAH
NABI MUHAMMAD SAW WAFAT
I.
PENDAHULUAN
Pada tahun 9 dan 10 H (630-632 M) banyak suku dar pelosok Arab, yang
mengirimkan delegasi atau utusan kepada Nabi Muhammad Saw. Menyatakan pengakuan
akan kekuasaan Islam. Oleh karena itu, tahun tersebut disebut dengan tahun
perutusan.
Pada tahun 10 H (631) Nabi Muhammad saw. Beserta rombongan yang besar
melakukan haji wada’ atau haji perpisahan. Dalam kesempatan itu turunlah ayat
terakhir dari al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu,
dan aku relakan islam sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah : 144)
Dua bulan setelah Nabi saw. menjalankan haji, Nabi saw. mulai sakit panas
dan dirawat dirumah istrinya Aisyah, dan
sakitnya semakin parah, dan
akhirnya Nabi saw. wafat pada hari senin tanggal 12 rabiul Awwal tahun 11 H/632
M dalam usia 63 tahun. Dalam wafatnya beliau, beliau tidak menunjuk dan
menetapkan penggatinya, timbullah permasalahan tentang pimpinan kekuasan
sepeninggalan Nabi saw.
Pada kesempatan kali ini pemakalah akan memaparkan
kondisi umat islam setelah wafatnya Nabi Saw.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana kondisi Rasulullah Saw ketika sakit
dan wafatnya Rasulullah?
B.
Bagaimana kondisi umat islam setelah
Rasulullah saw. wafat?
C.
Bagaimana proses pemilihan khalifah?
III.
PEMBAHASAN
A. Kondisi Rasulullah Saw Ketika Sakit dan Wafatnya Rasulullah
Dua bulan setelah melakukan haji
wada’, Rasulullah saw. jatuh sakit, tetapi ia tetap melaksanakan tugas sebagai
biasa. Beliau juga pergi ke Uhud dan mendoakan para syuhada.
Rasulullah
terus melaksanakan shalat berjama’ah sampai beliau demikian lemah dan tidak
mampu bergerak. Beliau lalu memerintah Abu Bakar untuk memimpin shalat
berjama’ah. Abu Bakar melaksanakannya beberapa hari. Empat hari sebelum hari
duka, rasulullah merasa agak sembuh dan mandi sebelum dhuhur. Setelah itu pergi
ke masjid dengan dipapah oleh Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar waktu itu
sedang menjadi imam shalat seperti biasa. Ketika itu ia merasa Rasulullah
datang, maka ia akan bergerak untuk memberi tempat kepada Rasulullah,
Rasulullah menyetopnya dan duduk di dekatnya.[1]
Untuk
terakhir kalinya Rasulullah naik mimbar. Di antara pesan yang Rasulullah
katakan pada saat itu adalah, Aku berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik
terhadap orang-orang Anshor. Sesungguhnya orang-orang Anshor adalah orang-orang
dekatku di mana aku berlindung kepada mereka. Karena mereka telah melalui apa
yang menjadi beban mereka dan masih tersisa apa yang akan menjadi hak mereka.
Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada saja di antara mereka yang melakukan
kesalahan.[2]
Tatkala
sakitnya semakin parah, maka rasulullah bersabda, “suruhlah Abu Bakar untuk
memimpin manusia melakukan sholat”
Rasulullah
meninggal di rumah Aisyah pada saat dhuha pada hari senin tanggal 12 Rabiul
Awwal tahun 11H (8 Juni 632M) pada usia 63 tahun.
B. Kondisi Umat Islam Setelah Rasulullah SAW Wafat
Berita
duka menyelimuti kediaman Nabi Saw. istri-istrinya beserta Fatimah menangis.
Melihat mereka menangis, perempuan-perempuan yang hadir di rumah Nabi saw.
waktu itu ikut menangis, sehingga tangis mereka terdengar sampai ke Masjid.
Kaum
muslimin yang berada di masjid, terperanjat dan terkejut mendengar tangis
mereka. Akhirnya mereka mendengar berita bahwa Nabi Saw. wafat. Mendengar
berita duka ini membuat kaum muslimin terkejut dan heran karena waktu subuh,
mereka masih melihat dan mengerjakan shalat berjama’ah bersama-sama Nabi Saw.
di masjid. Di antara mereka tidak percaya akan kebenaran berita tersebut,
terutama sahabat-sahabat karib beliau, seperti Abu Bakar, Umar dan Ali. Berita
wafatnya Nabi Saw. tersiar ke seluruh kota dengan cepat, sekalipun sebagian
kaum muslimin tidak mempercayainya.[3]
Tidak
lama kemudian, Umar ibnul Khaththab datang ke rumah Aisyah dan mendekati jenazah
Nabi Saw. lalu datang Utsman bin Affan dan di susul pula Ali bin Abi Thalib.
Melihat nabi Saw. tidak bergerak lagi, mereka terguncang dan lemaslah sekujur
tubuhnya.
Setelah
mendengar kabar kematian beliau, Umar hanya berdiri mematung. Seperti tidak
sadar dia berkata, “sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Nabi
Saw. akan meninggal dunia. Sesungguhnya beliau tidak meninggal dunia, tetapi
pergi ke hadapan Rabbnya seperti yang dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari
kaumnya selama empat puluh hari, lalu kembali lagi kepada mereka setelah beliau
dianggap meninggal dunia. Demi Allah, Nabi Saw. benar-benar akan kembali. Maka
tangan dan kaki orang-orang yang menganggap bahwa beliau meninggal dunia,
hendaknya dipotong.”[4]
Mendengar
ancaman itu, tidak seorang pun yang berani buka mulut. Kebanyakan kaum muslimin
menjadi binggung.
Dengan
tiba-tiba muncullah Abu Bakar. Dengan tenang, Abu Bakar datang tanpa
mempedulikan ancaman Umar dan kebingungan umat islam dalam menghadapi peristiwa
wafatnya Nabi Saw.. Dengan wajah dan langkah tenang, ia terus berjalan menuju
ke rumah Nabi Saw. dan mendapat jenazah beliau, lalu mencium beliau sambil
berkata, ”Alangkah bagusnya engkau dikala hidup dan alangkah bagusnya engkau
dikala mati.”[5]
Abu
Bakar manghampiri Umar yang berusaha menyakinkan orang-orang bahwa Nabi belum
wafat. Dimintanya Umar untuk duduk, tetapi dengan penuh emosi Umar menolak
permintaan Abu Bakar. Akhirnya, orang-orang mulai berpaling ke arah Abu Bakar
dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata,”barangsiapa di antara kalian yang
menyembah Nabi Saw. sesungguhnya Nabi telah mati. Dan barangsiapa menyembah
Allah, sesungguhnya Allah selalu hidup dan tidak pernah mati. ”
Selanjutnya,
Abu Bakar membacakan firman allah, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia
wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang
berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah
sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.(QS.
Al-Imran: 144)”[6]
Setelah
Umar mendengar ayat itu, ia rubuh ke tanah dan sekujur tubuhnya lemas tak
berdaya, maka barulah Umar insaf. Dan kaum muslimin yang terpengaruh oleh Umar
itu pun juga insaf.
Pertikaian
itu akhirnya lenyap dan kebingungan mereka diganti dengan ketenangan dan
akhirnya suasana menjadi tenang kembali.
C. Proses Pemilihan Khalifah
Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah
Nabi Saw. wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai
pemimpin agama dan pemerintahan.
Rasulullah wafat tanpa meninggalkan wasiat kepada
seseorangpun untuk meneruskan kepemimpinannya (kekhalifahan). Beliau nampaknya
menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah Nabi Saw. wafat; belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh
kaum Muhajirin dan kaum Anhsor berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah.
Mereka memusyawarahkan itu berjalon cukup alot, karena masing-masing pihak,
baik Muhajirin maupun Anshor, merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.[7]
Kaum Anshor menuntut bahwa mereka adalah orang yang
memberi tempat kepada Nabi Saw. pada saat kritis. Oleh karena itu seorang
penerus Nabi harus dipilih diantara mereka. Kaum Muhajirin menuntut bahwa Abu
Bakar adalah orang yang terbaik umtuk menggantikan Nabi. Dengan berdasarkan
prinsip keabsahan. Bani Hasyim mengemukakan alasan bahwa Allah dan Nabi Saw.
tidak akan menyerahkan masyarakat Mukminin kepada kesempatan dan keinginan yang
sifatnya sesaat dari badan pemilih, dan karena itu pasti membuat ketetapan yang
jelas bagi kepemimpinannya dengan menunjukkan orang tertentu untuk menggantikan Nabi Saw. Sayidina Ali,
saudara sepupu Nabi dari pihak ayah. Namun, alasan Bani Hasyim itu sangat
lemah. [8]
Pada saat terjadi perdebatan antara para pembesar kaum Anshar dan
Muhajirin, Abu Bakar menengahi dan berpidato dihadapan kaum Anshar. Abu Bakar menjelaskan
bahwa betapa besarnya jasa-jasa kaum Anshar dalam perjuangan umat islam. Selain
itu juga abu Bakar menjelaskan kedudukan dan jasa kaum Muhajirin yang tidak
mungkin dikesampingkan oleh kaum Anshar.
Setelah suasana ketegangan sedikit mereda, Abu Bakar berkata, “Marilah kita
semua bermusyawarah dan kita pilih bersama siapa yang pantas menjadi pemimpin
kita semua. Saya ingatkan pilihlah mereka yang tidak maminta kekuasaan, seperti
yang Nabi Saw. telah menyatakan kepada pamannya Abbas, saat ia meminta untuk
menjadi gubernur, Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya kamu tidak memeberikan
kekuasaan ini kepada orang yang memintanya.”
Saat itu Abu Bakar melanjutkan perkataannya, “Sesungguhnya orang yang
pantas menjadi Khalifah hanya satu, diantara dua Orang, yaitu Umar bin Khattab
dan Ubaidah bin Jarrah.”
Mendengar usulan Abu Bakar tersebut Abu Ubaidah bin Jarrah sepontan kaget
dan bergetar hatinya, seperti tersambar petir disiang bolong. Begitu juga Umar
bin Khattab, mereka malu berhadapan dengan orang besar seperti Abu Bakar.
Berteriaklah Umar bin Khattab, “Demi Allah..., lebih baik aku maju dan dipukul
leherku tanpa dosa, daripada aku diminta memimpin kaum sementara masih ada Abu
Bakar di dalamnya.”
Sementara itu Abu Ubaidah bin Jarah maju kedepan Abu Bakar, sambil berkata,
“Mana mungkin saya dikatakan pantas! Demi Allah, kami yakin hanya engkaulah hai
Abu Bakar yang pantas memimpin umat Islam pengganti Rasulullah! Engkaulah orang
yang kami anggap paling mulia di kalangan Muhajirin dan Tsaniu-Itsnain.
Engkaulah yang menemani Rasulullah saat Hijrah, dan engkaulah yang pernah
menggantikan Rasulullah dalam imam salat ketika Rasulullah sakit. Padahal salat
merupakan hal utama sebagai tiang atau landasan tegaknya agama. Lantas siapa
yang mampu membelakangimu dan siapa yang paling layak darimu/ Silahkan ulurkan
tanganmu dan kami akan mengangkat bai’at terhadapmu.”
Kemudian Abu Ubaidah dan Basyir bin Saad, menjabat
tangan Abu BAkar dan mengucapkan bai’at diikuti Umar bin Khattab serta
tokoh-tokoh kaum Anshar yang lainnya menyatakan persetujuannya atas
pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Seluruh yang hadir dalam pertemuan
tersebut kemudian ikut membaiat Abu BAkar. Kemudian mereka merengek
beramai-ramai abu Bakar menuju Masjid Nabawi. Di Masjid Nabawi sekali lagi Abu
BAkar dibaiat di depan khalayak umum. Dengan demikian Abu Bakar dinyatakan sah
sebagai khalifah pengganti Rasulullah.[9]
IV.
KESIMPULAN
A. Kondisi Rasulullah
Saw Ketika Sakit dan Wafatnya Rasulullah
Dua bulan
setelah melakukan haji wada’, Rasulullah saw. jatuh sakit. Rasulullah terus
melaksanakan shalat berjama’ah sampai beliau demikian lemah dan tidak mampu
bergerak. Beliau lalu memerintah Abu Bakar untuk memimpin shalat berjama’ah.
Tatkala sakitnya semakin parah, maka rasulullah bersabda, “suruhlah Abu
Bakar untuk memimpin manusia melakukan sholat”
Rasulullah
meninggal di rumah Aisyah pada saat dhuha pada hari senin tanggal 12 Rabiul
Awwal tahun 11H (8 Juni 632M) pada usia 63 tahun.
B. Kondisi Umat
Islam Setelah Rasulullah SAW Wafat
C.
Pemilihan Khalifah
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan upaya
penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga
makalah ini bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad, Mahdi
Rizqullah. Biografi Rasulullah. Jakarta: Qisthi Press, 2009.
Al-Mubarakfuri, Syaikh
Shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2010.
Amin, Samsul Munir.
Sejarah Peradapan Islam. Jakarta: Amzah. 2010.
Chalil, Moenawar.
Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3. Bogor : Gema Insani Press,
2001.
Hassan, Hassan
Ibrahim.Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang. 1989.
Khan, Majid Ali.
Muhammad Saw Rasul Terakhi. Bandung: Pustaka. 1980.
Mahmudunnasir, Syeh.
Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung : Rosda. 2005.
http://islamdansejarah.blogspot.com/2012/05/proses-terpilihnya-abu-bakar-menjadi.html,
[1] Majid ‘Ali
Khan, Muhammad Saw Rasul Terakhir, (Bandung: Pustaka, 1980), hlm. 257
[2] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 85
[3]
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3, (Bogor :
Gema Insani Press, 2001), hlm. 280
[4]
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2010), hlm. 556-557
[5]
Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3, (Bogor :
Gema Insani Press, 2001), hlm. 280
[6]
Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, (Jakarta: Qisthi Press,
2009), hlm. 925-926
[7]
Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,(Yogyakarta : Kota
Kembang, 1989), hlm. 34
[8]
Syeh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Rosda,
2005), hlm. 135-136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar