Kamis, 25 April 2013

KONDISI SOSIAL UMAT ISLAM SETELAH NABI MUHAMMAD SAW WAFAT


KONDISI SOSIAL UMAT ISLAM SETELAH
NABI MUHAMMAD SAW WAFAT


I.              PENDAHULUAN
Pada tahun 9 dan 10 H (630-632 M) banyak suku dar pelosok Arab, yang mengirimkan delegasi atau utusan kepada Nabi Muhammad Saw. Menyatakan pengakuan akan kekuasaan Islam. Oleh karena itu, tahun tersebut disebut dengan tahun perutusan.
Pada tahun 10 H (631) Nabi Muhammad saw. Beserta rombongan yang besar melakukan haji wada’ atau haji perpisahan. Dalam kesempatan itu turunlah ayat terakhir dari al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan aku relakan islam sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah : 144)
Dua bulan setelah Nabi saw. menjalankan haji, Nabi saw. mulai sakit panas dan dirawat dirumah istrinya Aisyah, dan  sakitnya semakin parah,  dan akhirnya Nabi saw. wafat pada hari senin tanggal 12 rabiul Awwal tahun 11 H/632 M dalam usia 63 tahun. Dalam wafatnya beliau, beliau tidak menunjuk dan menetapkan penggatinya, timbullah permasalahan tentang pimpinan kekuasan sepeninggalan Nabi saw.
Pada kesempatan kali ini pemakalah akan memaparkan kondisi umat islam setelah wafatnya Nabi Saw.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.            Bagaimana kondisi Rasulullah Saw ketika sakit dan wafatnya Rasulullah?
B.            Bagaimana kondisi umat islam setelah Rasulullah saw. wafat?
C.            Bagaimana proses pemilihan khalifah?

III.            PEMBAHASAN
A.    Kondisi Rasulullah Saw Ketika Sakit dan Wafatnya Rasulullah
 Dua bulan setelah melakukan haji wada’, Rasulullah saw. jatuh sakit, tetapi ia tetap melaksanakan tugas sebagai biasa. Beliau juga pergi ke Uhud dan mendoakan para syuhada.
Rasulullah terus melaksanakan shalat berjama’ah sampai beliau demikian lemah dan tidak mampu bergerak. Beliau lalu memerintah Abu Bakar untuk memimpin shalat berjama’ah. Abu Bakar melaksanakannya beberapa hari. Empat hari sebelum hari duka, rasulullah merasa agak sembuh dan mandi sebelum dhuhur. Setelah itu pergi ke masjid dengan dipapah oleh Abbas dan Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar waktu itu sedang menjadi imam shalat seperti biasa. Ketika itu ia merasa Rasulullah datang, maka ia akan bergerak untuk memberi tempat kepada Rasulullah, Rasulullah menyetopnya dan duduk di dekatnya.[1]
Untuk terakhir kalinya Rasulullah naik mimbar. Di antara pesan yang Rasulullah katakan pada saat itu adalah, Aku berwasiat kepada kalian untuk berbuat baik terhadap orang-orang Anshor. Sesungguhnya orang-orang Anshor adalah orang-orang dekatku di mana aku berlindung kepada mereka. Karena mereka telah melalui apa yang menjadi beban mereka dan masih tersisa apa yang akan menjadi hak mereka. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada saja di antara mereka yang melakukan kesalahan.[2]
Tatkala sakitnya semakin parah, maka rasulullah bersabda, “suruhlah Abu Bakar untuk memimpin manusia melakukan sholat
Rasulullah meninggal di rumah Aisyah pada saat dhuha pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11H (8 Juni 632M) pada usia 63 tahun.
B.     Kondisi Umat Islam Setelah Rasulullah SAW Wafat
Berita duka menyelimuti kediaman Nabi Saw. istri-istrinya beserta Fatimah menangis. Melihat mereka menangis, perempuan-perempuan yang hadir di rumah Nabi saw. waktu itu ikut menangis, sehingga tangis mereka terdengar sampai ke Masjid.
Kaum muslimin yang berada di masjid, terperanjat dan terkejut mendengar tangis mereka. Akhirnya mereka mendengar berita bahwa Nabi Saw. wafat. Mendengar berita duka ini membuat kaum muslimin terkejut dan heran karena waktu subuh, mereka masih melihat dan mengerjakan shalat berjama’ah bersama-sama Nabi Saw. di masjid. Di antara mereka tidak percaya akan kebenaran berita tersebut, terutama sahabat-sahabat karib beliau, seperti Abu Bakar, Umar dan Ali. Berita wafatnya Nabi Saw. tersiar ke seluruh kota dengan cepat, sekalipun sebagian kaum muslimin tidak mempercayainya.[3]
Tidak lama kemudian, Umar ibnul Khaththab datang ke rumah Aisyah dan mendekati jenazah Nabi Saw. lalu datang Utsman bin Affan dan di susul pula Ali bin Abi Thalib. Melihat nabi Saw. tidak bergerak lagi, mereka terguncang dan lemaslah sekujur tubuhnya.
Setelah mendengar kabar kematian beliau, Umar hanya berdiri mematung. Seperti tidak sadar dia berkata, “sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Nabi Saw. akan meninggal dunia. Sesungguhnya beliau tidak meninggal dunia, tetapi pergi ke hadapan Rabbnya seperti yang dilakukan Musa bin Imran yang pergi dari kaumnya selama empat puluh hari, lalu kembali lagi kepada mereka setelah beliau dianggap meninggal dunia. Demi Allah, Nabi Saw. benar-benar akan kembali. Maka tangan dan kaki orang-orang yang menganggap bahwa beliau meninggal dunia, hendaknya dipotong.”[4]
Mendengar ancaman itu, tidak seorang pun yang berani buka mulut. Kebanyakan kaum muslimin menjadi binggung.
Dengan tiba-tiba muncullah Abu Bakar. Dengan tenang, Abu Bakar datang tanpa mempedulikan ancaman Umar dan kebingungan umat islam dalam menghadapi peristiwa wafatnya Nabi Saw.. Dengan wajah dan langkah tenang, ia terus berjalan menuju ke rumah Nabi Saw. dan mendapat jenazah beliau, lalu mencium beliau sambil berkata, ”Alangkah bagusnya engkau dikala hidup dan alangkah bagusnya engkau dikala mati.”[5]
Abu Bakar manghampiri Umar yang berusaha menyakinkan orang-orang bahwa Nabi belum wafat. Dimintanya Umar untuk duduk, tetapi dengan penuh emosi Umar menolak permintaan Abu Bakar. Akhirnya, orang-orang mulai berpaling ke arah Abu Bakar dan meninggalkan Umar. Abu Bakar berkata,”barangsiapa di antara kalian yang menyembah Nabi Saw. sesungguhnya Nabi telah mati. Dan barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah selalu hidup dan tidak pernah mati. ”
Selanjutnya, Abu Bakar membacakan firman allah, “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.(QS. Al-Imran: 144)”[6]
Setelah Umar mendengar ayat itu, ia rubuh ke tanah dan sekujur tubuhnya lemas tak berdaya, maka barulah Umar insaf. Dan kaum muslimin yang terpengaruh oleh Umar itu pun juga insaf.
Pertikaian itu akhirnya lenyap dan kebingungan mereka diganti dengan ketenangan dan akhirnya suasana menjadi tenang kembali.
C.    Proses Pemilihan Khalifah
Khalifah adalah pemimpin yang diangkat  sesudah Nabi Saw. wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintahan.
Rasulullah wafat tanpa meninggalkan wasiat kepada seseorangpun untuk meneruskan kepemimpinannya (kekhalifahan). Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah Nabi Saw. wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan,  sejumlah tokoh kaum Muhajirin dan kaum Anhsor berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan itu berjalon cukup alot, karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshor, merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam.[7]
Kaum Anshor menuntut bahwa mereka adalah orang yang memberi tempat kepada Nabi Saw. pada saat kritis. Oleh karena itu seorang penerus Nabi harus dipilih diantara mereka. Kaum Muhajirin menuntut bahwa Abu Bakar adalah orang yang terbaik umtuk menggantikan Nabi. Dengan berdasarkan prinsip keabsahan. Bani Hasyim mengemukakan alasan bahwa Allah dan Nabi Saw. tidak akan menyerahkan masyarakat Mukminin kepada kesempatan dan keinginan yang sifatnya sesaat dari badan pemilih, dan karena itu pasti membuat ketetapan yang jelas bagi kepemimpinannya dengan menunjukkan orang tertentu  untuk menggantikan Nabi Saw. Sayidina Ali, saudara sepupu Nabi dari pihak ayah. Namun, alasan Bani Hasyim itu sangat lemah. [8]
Pada saat terjadi perdebatan antara para pembesar kaum Anshar dan Muhajirin, Abu Bakar menengahi dan berpidato dihadapan kaum Anshar. Abu Bakar menjelaskan bahwa betapa besarnya jasa-jasa kaum Anshar dalam perjuangan umat islam. Selain itu juga abu Bakar menjelaskan kedudukan dan jasa kaum Muhajirin yang tidak mungkin dikesampingkan oleh kaum Anshar. 
Setelah suasana ketegangan sedikit mereda, Abu Bakar berkata, “Marilah kita semua bermusyawarah dan kita pilih bersama siapa yang pantas menjadi pemimpin kita semua. Saya ingatkan pilihlah mereka yang tidak maminta kekuasaan, seperti yang Nabi Saw. telah menyatakan kepada pamannya Abbas, saat ia meminta untuk menjadi gubernur, Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya kamu tidak memeberikan kekuasaan ini kepada orang yang memintanya.”
Saat itu Abu Bakar melanjutkan perkataannya, “Sesungguhnya orang yang pantas menjadi Khalifah hanya satu, diantara dua Orang, yaitu Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah.”
Mendengar usulan Abu Bakar tersebut Abu Ubaidah bin Jarrah sepontan kaget dan bergetar hatinya, seperti tersambar petir disiang bolong. Begitu juga Umar bin Khattab, mereka malu berhadapan dengan orang besar seperti Abu Bakar. Berteriaklah Umar bin Khattab, “Demi Allah..., lebih baik aku maju dan dipukul leherku tanpa dosa, daripada aku diminta memimpin kaum sementara masih ada Abu Bakar di dalamnya.”
Sementara itu Abu Ubaidah bin Jarah maju kedepan Abu Bakar, sambil berkata, “Mana mungkin saya dikatakan pantas! Demi Allah, kami yakin hanya engkaulah hai Abu Bakar yang pantas memimpin umat Islam pengganti Rasulullah! Engkaulah orang yang kami anggap paling mulia di kalangan Muhajirin dan Tsaniu-Itsnain. Engkaulah yang menemani Rasulullah saat Hijrah, dan engkaulah yang pernah menggantikan Rasulullah dalam imam salat ketika Rasulullah sakit. Padahal salat merupakan hal utama sebagai tiang atau landasan tegaknya agama. Lantas siapa yang mampu membelakangimu dan siapa yang paling layak darimu/ Silahkan ulurkan tanganmu dan kami akan mengangkat bai’at terhadapmu.”
Kemudian Abu Ubaidah dan Basyir bin Saad, menjabat tangan Abu BAkar dan mengucapkan bai’at diikuti Umar bin Khattab serta tokoh-tokoh kaum Anshar yang lainnya menyatakan persetujuannya atas pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Seluruh yang hadir dalam pertemuan tersebut kemudian ikut membaiat Abu BAkar. Kemudian mereka merengek beramai-ramai abu Bakar menuju Masjid Nabawi. Di Masjid Nabawi sekali lagi Abu BAkar dibaiat di depan khalayak umum. Dengan demikian Abu Bakar dinyatakan sah sebagai khalifah pengganti Rasulullah.[9]
IV.             KESIMPULAN
A.    Kondisi Rasulullah Saw Ketika Sakit dan Wafatnya Rasulullah
Dua bulan setelah melakukan haji wada’, Rasulullah saw. jatuh sakit. Rasulullah terus melaksanakan shalat berjama’ah sampai beliau demikian lemah dan tidak mampu bergerak. Beliau lalu memerintah Abu Bakar untuk memimpin shalat berjama’ah. Tatkala sakitnya semakin parah, maka rasulullah bersabda, “suruhlah Abu Bakar untuk memimpin manusia melakukan sholat
Rasulullah meninggal di rumah Aisyah pada saat dhuha pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11H (8 Juni 632M) pada usia 63 tahun.
B.     Kondisi Umat Islam Setelah Rasulullah SAW Wafat
C.     Pemilihan Khalifah
V.                PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan upaya penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mahdi Rizqullah. Biografi Rasulullah. Jakarta: Qisthi Press, 2009.
Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2010.
Amin, Samsul Munir. Sejarah Peradapan Islam. Jakarta: Amzah. 2010.
Chalil, Moenawar. Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3. Bogor : Gema Insani Press, 2001.
Hassan, Hassan Ibrahim.Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta : Kota Kembang. 1989.
Khan, Majid Ali. Muhammad Saw Rasul Terakhi. Bandung: Pustaka. 1980.
Mahmudunnasir, Syeh. Islam Konsepsi dan Sejarahnya. Bandung : Rosda. 2005.
http://islamdansejarah.blogspot.com/2012/05/proses-terpilihnya-abu-bakar-menjadi.html,


[1] Majid ‘Ali Khan, Muhammad Saw Rasul Terakhir, (Bandung: Pustaka, 1980), hlm. 257
[2] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 85
[3] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3, (Bogor : Gema Insani Press, 2001), hlm. 280
[4] Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010), hlm. 556-557
[5] Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 3, (Bogor : Gema Insani Press, 2001), hlm. 280
[6] Mahdi Rizqullah Ahmad, Biografi Rasulullah, (Jakarta: Qisthi Press, 2009), hlm. 925-926
[7] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam,(Yogyakarta : Kota Kembang, 1989), hlm. 34
[8] Syeh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung : Rosda, 2005), hlm. 135-136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar