Sabtu, 31 Mei 2014

FUNGSI PEMBANGKIT MOMEN



FUNGSI PEMBANGKIT MOMEN

Definisi Momen :
Definisi 1 :
Momen ke r dari peubah acak x di sekitar 0 dinotasikan dengan    dan didefenisikan sebagai berikut :
  
dimana r = 0, 1, 2, …
Definisi 2 :
Momen ke r dari peubah acak x di sekitar ยต  dinotasikan dengan : (r = 0, 1, 2, …)
  
Fungsi Pembangkit Momen
Definisi 3 :
Fungsi pembangkit momen dari peubah acak X diperoleh dari  dan dinyatakan dengan . Sehingga
 
Fungsi Pembangkit – Momen hanya akan ada bila jumlah atau Integral pada definisi 3 konvergen. Bila fungsi pembangkit – momen suatu peubah acak memang ada, fungsi itu dapat dipakai untuk membangkitkan atau menemukan seluruh momen peubah acak tersebut. Yang caranya diuraikan dalam teorema 1
Teorema Pembangkit Momen
Teorema 1 :
Misalkan X suatu peubah acak dengan fungsi pembangkit momen . Maka
 

Jumat, 30 Mei 2014

thaharah



THAHARAH
(Mengusap Jilbab, Mengusap Sepatu, dan Tayamum)
I.             PENDAHULUAN
Allah itu bersih dan suci. Untuk menemuinya, manusia harus terlebih dahulu bersuci. Allah mencintai sesuatu yang bersih dan suci. Dalamhukum islam bersuci dan segala seluk beluknya adalah termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting terutama untuk melakukan ibadah yang wajib dilakukan sebelum seseorang bersuci seperti melakukan shalat, tawaf, sa’i. Ibadah tersebut  wajib suci dari hadas dan suci pula badan, pakaian dan tempat dari najis. Dalam kehidupan sehari-hari kita tak terlepas dari kotoran dan najis sehingga thaharah dijadikan sebagai alat dan cara bagaimana mensucikan diri agar sah saat menjalankan ibadah
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana hukum mengusap jilbab (sebagai ganti mengusap kepala) bagi wanita?
B.     Bagaimana hukum mengusap sepatu dalam berwudhu?
C.     Bagaimana hukum tayamum?
III.      PEMBAHASAN
A.      Hukum Mengusap Jilbab (sebagai Ganti Mengusap Kepala) bagi Wanita
Jilbab adalah khimar, yaitu kain yang menutup kepala seorang wanita. Dalam masalah ini ada dua pendapat yang berkembang, yaitu sebagai berkut.
1.         Pendapat yang mengatakan boleh. Ini adalah pendapat mazhab Hambali, Zhahiri dan jumhur fuqaha’, berdasarkan cerita Ummu Salamah bahwa ia pernah mengusap jilbabnya saat wudhu. Diriwayatkan juga dari Rasulullah saw. bahwa beliau menyuruh mengusap khuff  dan jilbab, karena kain ini adalah pakaian bagi kepala yang biasanya sulit dilepas dan mirip dengan soban.
2.         Pendapat yang mengatakan tidak boleh mengusap jilbab ini adalah pendapat kalangan ulama Malikyah dan Zaidiyah serta salah satu versi riwayat Imam Ahmad. Imam Ahmad pernah ditanya, “Bagaiman seorang mengusap kepalanya?.” Ia menjawab: “Ia mengusapnya dari bawah jilbab dan bukan dari atasnya.” Zahid bin Ali berkata, “tidak boleh seorang bagi wanita mengusap kepalanya dari atas jilbab dan jika ia mengusap bagian dean kepalanya dianggap cukup.”[1]

B.       Hukum Mengusap Sepatu (khuff) dalam Berwudhu
1.         Pengertian dan Hukum Mengusap Sepatu (khuff)
Mengusap secara etimologi berarti memperjalankan tangan di atas sesuatu. Secara terminolgi mengusap sepatu (khuff) berarti menggunakan tangan yang basah atau apasaja yang menempati posisinya ke bagian atas sepatu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh syara’. Sepatu (khuff) yang diakui syara’ adalah alas kaki yang menutupi kedua mata kaki yang memungkinkan untuk dibuat berjalan.[2] Bagian yang diusap adalah bagian atas sepatu, bukan bagian alasnya.
Mengusap sepatu diperbolehkan berdasarkan hadis yang masyhur. Salah satunya dalah hadits dari Al-Mughirah  
ุนู†ْ ุงَู„ْู…ُุบِูŠุฑَุฉِ ุจْู†ِ ุดُุนْุจَุฉَ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ู‚َุงู„َ: ( ูƒُู†ْุชُ ู…َุนَ ุงَู„ู†َّุจِูŠِّ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ูَุชَูˆَุถَّุฃَ ูَุฃَู‡ْูˆَูŠْุชُ ู„ِุฃَู†ْุฒِุนَ ุฎُูَّูŠْู‡ِ ูَู‚َุงู„َ: ุฏَุนْู‡ُู…َุง ูَุฅِู†ِّูŠ ุฃَุฏْุฎَู„ْุชُู‡ُู…َุง ุทَุงู‡ِุฑَุชَูŠْู†ِ ูَู…َุณَุญَ ุนَู„َูŠْู‡ِู…َุง )  ู…ُุชَّูَู‚ٌ ุนَู„َูŠْู‡
Artinya :
“Mughirah Ibnu Syu'bah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku pernah bersama Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau berwudlu aku membungkuk untuk melepas kedua sepatunya lalu beliau bersabda: Biarkanlah keduanya sebab aku dalam keadaan suci ketika aku mengenakannya Kemudian beliau mengusap bagian atas keduanya.” (HR. Muttafaq Alaihi)
Juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibbah yang tercantum di dalam kitab Shahih Bukhari dan shahih muslim dari Abu Bakar yang berbunyi, “Nabi memberi kemurahan bagi musafir selama tiga hari dan tiga malam, dan bagi orang yang bermukim sehari semalam apabila berwudhu, boleh mengusap kedua khuff.[3]
2.         Syarat-Syarat Mengusap Sepatu
Syarat diperbolehkan mengusap sepatu adalah sebagai berikut,
a.       Sepatu yang dipakai dalam keadaan suci sebelum terjadinya hadas setelahnya.
b.   Sepatu yang dipakai menutupi kedua tungkai kaki beserta mata kaki dari berbagai sisi.
c.    Melekat pada kaki tanpa diikat.
d.   Dapat melindungi masuknya air ke kaki.
e.    Sepatu tidak mengalami robek besar yang dapat menyulitkan untuk mengusapnya.
f.    Kondisi sepatu masih bagus dan kuat, sehingga memungkinkan bisa digunakan untuk berjalan ke sana-ke sini.
3.         Tata Cara dan Hal-Hal Sunnah dalam Mengusap Sepatu
Disunnahkan dalam mengusap sepatu dengan cara meletakkan jari-jari tangan kanan ke bagian depan sepatu sebelah kanan, sementara jari-jari tangan kiri di bagian depan sepatu sebelah kiri, kemudian menarik keduanya kepangkal tumit di atas kedua mata kaki sambil memisahkan jari-jarinya (tidak menyatukannya). Jika dapat meletakkan telapak tangan bersama jari-jari, maha hal itu lebih baik.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa mengusap bagian atas sepatu sekaligus bagian bawahnya merupakan tindakan sunnah.
4.         Jangka Waktu Mengusap Sepatu
Jangka waktu kebolehan mengusap sepatu bagi orang mukim dan orang bepergian dalam jarak yang belum diperbolehkan meng-qashar shalat adalah satu hari satu malam. Adapun bagi orang yang bepergian dalam jarak yang  diperbolehkan meng-qashar shalat adalah tiga hari tiga malam.
ูˆَุนَู†ْ ุฃَุจِูŠ ุจَูƒْุฑَุฉَ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ุนَู†ْ ุงَู„ู†َّุจِูŠِّ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ( ุฃَู†َّู‡ُ ุฑَุฎَّุตَ ู„ِู„ْู…ُุณَุงูِุฑِ ุซَู„َุงุซَุฉَ ุฃَูŠَّุงู…ٍ ูˆَู„َูŠَุงู„ِูŠَู‡ُู†َّ ูˆَู„ِู„ْู…ُู‚ِูŠู…ِ ูŠَูˆْู…ًุง ูˆَู„َูŠْู„َุฉً ุฅِุฐَุง ุชَุทَู‡َّุฑَ ูَู„َุจِุณَ ุฎُูَّูŠْู‡ِ: ุฃَู†ْ ูŠَู…ْุณَุญَ ุนَู„َูŠْู‡ِู…َุง )  ุฃَุฎْุฑَุฌَู‡ُ ุงَู„ุฏَّุงุฑَู‚ُุทْู†ِูŠُّ ูˆَุตَุญَّุญَู‡ُ ุงِุจْู†ُ ุฎُุฒَูŠْู…َุฉ
Artinya :
Melalui Abu Bakrah dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: Bahwa beliau memberikan kemudahan bagi musafir tiga hari tiga malam dan bagi mukim (orang yang menetap) sehari semalam apabila ia telah bersuci dan memakai kedua sepatunya maka ia cukup mengusap bagian atasnya Diriwayatkan oleh Daruquthni dan shahih menurut Ibnu Khuzaimah.”
Menurut pendapat yang terpilih,  jangka waktu ini dihitung sejak waktu mengusap dan ada juga yang mengatakan sejak hadas setelah sepatu dipakai.
5.         Hal-Hal yang Membatalkan Mengusap Sepatu
Ada beberapa perkara yang dapat membatalkan keabsahan mengusap sepatu, yaitu sebagai berkut.
a.       Semua hal yang membatalkan wudhu.
b.        Habisnya jangka waktu mengusap, baik bagi orang mukim maupun musafir.
c.         Sepatu dilepas, terlepas atau bagian tumit kaki banyak yang kelihatan keluar ke sisi sepatu.[4]
d.        Mengalami sesuatu yang mewajibkan mandi[5].
6.      Permasalahan
a.       Sepatu yang Robek
Para ulama sepakat membolehkan mengusap sepatu yang robek, selama robeknya tidak menjadi penghalang. Imam Ats-Tsauri mengatakan: Sepatu tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar banyak yang sudah robek sana-sini sebagaimana halnya sepatu orang kebanyakan.jika memang seandainya hal itu berdampak, pasti akan ada nash dan riwayat yang datang  dari meraka mengenai hal tersebut. Mereka sendiri justu berbeda pendapat mengenai masalah sepatu yang robek yang dapat menjadi penghalang keabsahannya mengusap sepatu, pendapat tershahih adalah pendapat mengatakan bahwa jika da sesuatu yang tampak dari telapak kaki maka diperkenankan untuk mengusapnya. Jika tidak tampak, maka boleh mengusapnya.
b.      Mengusap Kaos Kaki
Mengusap kaos kaki (jaurabain) sebagai kias dari sepatu diperbolehkan, sebab praktiknya tesebut banyak diriwayatkan dari sejumlah besar sahabat.
Abu Dawud mengatakan : Diantara sahabat yang biasa mengusap kaos kaki adalah Imam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Al-Barra Azib, Annas bin Malik, Abu Umamah, Sahl bin Sa’ad dan Amru bin Harits. Hal ini juga diriwayatkan dari Umar bin Khaththab dan Ibnu Abbas.
Ibnu Al-Mundzir menyebutkan bahwa imam Ahmad juga menyatakan kebolehan mengusap kaos kaki.
Syarat mengusap kaos kaki sama dengan syarat mengusap sepatu yaitu ketika memasukkan harus dalam keadaan suci.[6]

C.      Tayamum
1.         Pengertian Tayamum
Tayamum menurut bahasa adalah tujuan, sedangkan menurut istilah tayamum adalah menyapu wajah dan dua tangan dengan menggunakan debu dengan cara tertentu. Tayamum adalah sebagai ganti bersuci dengan air ketika tak mampu menggunakan secara syara’. Orang yang bersuci dengannya boleh melakukan ibadah yang biasanya dilakukan dengan bersuci menggunakan air, seperti shalat, thawaf, membaca al_Qur’an dan lainnya.[7]
Penyebab diperblehkan tayamum adalah ketiadaan air, baik secara hakiki mauun secara hukmi. Merujuk pada hadis narasi Imran bin Husnain r.a. ia bercerita: Kami bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan, lalu beliau shalat memimpin orang-orang. Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mengucilkan diri (tidak ikut shalat). Rasulullah saw. pun menanyainya, “Apa yang menghalangimu untuk shalat?” Ia menjawab, “Saya tadi junub dan tidak ada air.” Beliau menukas, “Kau boleh memakai debu, sesungguhnya ia mencukupimu.”(HR. bukhari dan Muslim)[8]
2.      Penyebab Tayamum
Faktor penyebab seseorang diperbolehkan tayamum ada tiga, dan semuanya disatukan oleh satunya penyebab yaitu halangan untuk menggunakan air.[9] Adapun penyebab halangan itu ada tiga perkara:
a.         Ketiadaan air. Baik secara “faktual” seperti kondisi ketiadaan air yang nyata misalnya di daerah salju, ataupun secara “syar’i”, seperti ketika air sulit dijangkau karena adanya halangan atau disebabkan jauhnya letak sumber air.
b.        Khawatir akan kehausan (diri sendiri, orang lain, ataupun hewan yang dimuliakan dalam pandangan syara’). Bila ada air yang hanya cukup untuk memberi minum hewan yang dimuliakan dalam pandangan syara’ yang kehausan, walaupun itu baru akan terjadi pada waktu yang akan datang.
c.         Sakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah bila terkena air.
3.         Rukun Tayamum
Rukun niat ada tiga yaitu:
a.         Niat. Niat tempatnya didalam hati. Oleh itu seseorang hendaklah berniat dalam hati untuk melakukan tayamum tersebut.
b.        Menyapu debu tanah ke muka dan kedua-dua belah tanganhingga siku-siku dengan dua kali tepukan. yaitu menepuk kedua telapak tangan di atas debu tanah yang suci dan menyapukannya ke seluruh muka. Kemudian menepukkannya lagi ke atas debu tanah tersebut dan menyapukannya pula kpada kedua-dua belah tangan hingga siku-siku dengan cara telapak tangan kiri menyapu tangan kanan dan telapak tangan kanan menyapu tangan kiri.
c.         Tertip menurut cara yang ditentukan.[10]
4.         Syarat-Syarat Tayamum
Syarat-syarat tayamum ada lima,[11] yaitu:
a.         Ada udhur, baik karena perjalanan atau sakit.
b.        Sudah masuk waktu shalat.
c.         Telah berusaha mencari air, tetapi tidak didapat.
d.        Ada air, tetapi sulit untuk menggunakannya (karena air yang tersedia hanya sedikit dan dibutuhkan untuk minum manusia ataupun hewan).
e.         Tersedia tanah yang suci yang mengandung debu.
5.         Tata Cara Tayamum
Orang yang bertayamum harus monomersatukan niat dengan tujuan diperbolehkannya melakukan ibadah solat atau thawaf. Adapun tempat niat terletak dalam hati dan mengucapkkannya di bibir merupkah perkara bid’ah
Kemudian mengucapkan bismillah  seraya menepuk kedua tangannya di atas permukaan tanah, tepatnya pada debu yang suci, sekali letakkan dengan membuka lebar-lebar jari-jemari, kemudian mengkibaskan keduanya dan mengusapkannya pada wajah dan kedua tangannya. Merujuk hadis narasi Ammar bahwasanya Nabi saw. bersabda: “sebenarnya cukup bagimu melakukan begini saja.” Nabi saw. menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dan menghembuskannya, kemudian mengusapkannya ke wajah dan kedua telapak tangannya.[12]
Cara bertayamum adalah dengan meletakkan jari-jari tangan kiri, kecuali ibu jari ke punggung telapak tangan kanan, selain ibu jari. Kemudian tekapak tangan kiri mengusap lengan tangan kanan sampai siku bagian luar, lalu memutar ke siku bagian tangan kanan dan menggerakkannya sampai pergelangan tangan, lalu bagian ibu jari bagian dalam tangan kiri mengusap ibu jari tangan kanan digerakkan. Setelah itu, lakukan yang hal yang sama pada tangan kiri, selajutnya, menyela jemari dan mengusap kedua telapak tangan.[13]
6.         Hal yang Membatalkan Tayamum
Perkara yang membatalkan tayamum yaitu sebagai berikut,
a.         Semua perkara yang membatalkan wudhu. Sebab, tayamum adalah amalan yang dilakukan untuk mengabsahkan pelaksanaan shalat.
b.        Melihat air di luar waktu shalat atau menyangka ada air.
c.         Murtad.[14]
7.         Masalah yang Berkaitan dengan Tayamum
a.         Tayamum berlaku untuk satu kali shalat fardu
Tayamum hanya berlaku untuk satu shalat wajib, sehingga tiap-tiap akan melakukan shalat wajib diharuskan melakukan tayamum terlebih dahulu. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Darulquthni yang berdasarkan dari Ibnu Abbas. Namun, para fuqaha berpendapat, bagi orang yang bertayamum boleh mengerjakan beberapa shalat sunnah dengan satu tayamum.
b.        Tayamum dilakukan ketika sudah masuk waktu shalat
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai kebolehan bertayamum sebelum tiba waktu shalat. Dalam hal ini, para fuqaha terbagi atas dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bertayamum dibolehkan sebelum masuk waktu shalat. Pendapat ini dimotori oleh kalangan Mazhab Hanafi, Ibnu Hazmin, Mazhab Zahiri dan Al-Syaibani. Pendapat kedua mengatakan bahwa bertayamum tidak diperbolehkan sebelum masuk waktu shalat. Pendapat ini dimotori oleh kalangan Mazhab Maliki, Mazhab sSyafi’I, Syiah dan Mazhab Hambali.
c.         Mengetahui adanya air di tengah shalat
Bagi orang yang melakukan shalat dengan bertayamum, kemudian mendapati air dan waktu shalat belum habis, boleh mengulangi shalat dengan berwudhu, dan boleh pula tidak mengulangi. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Daud Al-Nasa’i dari Sa’id Al-Kudri, ia berkata: Ada dua orang laki-laki keluar bepergian lalu datanglah waktu shalat sedangkan mereka tidak mempunyai air maka mereka bertayamum dengan tanah suci dan menunaikan shalat. Kemudian mereka menjumpai air pada waktu itu juga. Lalu salah seorang dari keduanya mengulangi shalat dan wudlu sedang yang lainnya tidak. Kemudian mereka menghadap Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam dan menceritakan hal itu kepadanya. Maka beliau bersabda kepada orang yang tidak mengulanginya: Engkau telah melakukan sesuai sunnah dan shalatmu sudah sah bagimu. Dan beliau bersabda kepada yang lainnya: Engkau mendapatkan pahala dua kali. (HR. Abu Dawud)[15]

IV.      KESIMPULAN
A.    Hukum Mengusap Jilbab bagi Wanita
Jilbab adalah khimar, yaitu kain yang menutup kepala seorang wanita. Dalam masalah ini ada dua pendapat yang berkembang, yaitu ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pendapat yang mengatakan tidak boleh mengusap jilbab
B.     Hukum Mengusap Sepatu dalam Berwudhu
Mengusap sepatu (khuff) berarti menggunakan tangan yang basah atau apasaja yang menempati posisinya ke bagian atas sepatu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh syara’, yaitu bagi orang mukim adalah satu hari satu malam. Adapun bagi orang yang bepergian (musafir) adalah tiga hari tiga malam.
Sepatu (khuff) yang diakui syara’ adalah alas kaki yang menutupi kedua mata kaki yang memungkinkan untuk dibuat berjalan. Bagian yang diusap adalah bagian atas sepatu, bukan bagian alasnya.
Dibolehkan mengusap sepatu yang robek, selama robeknya tidak menjadi penghalang. Diperbolehkan juga Mengusap Kaos Kaki. Syarat mengusap kaos kaki sama dengan syarat mengusap sepatu yaitu ketika memasukkan harus dalam keadaan suci.
Hal-hal yang membatalkan mengusap sepatu yaitu Semua hal yang membatalkan wudhu, Habisnya jangka waktu mengusap, jika sepatu dilepas dan mengalami sesuatu yang mewajibkan mandi.
C.     Hukum Tayamum
tayamum adalah menyapu wajah dan dua tangan dengan menggunakan debu dengan cara tertentu. Tayamum sebagai ganti bersuci dengan air ketika tak mampu menggunakan secara syara’. Orang yang bersuci dengannya boleh melakukan ibadah yang biasanya dilakukan dengan bersuci menggunakan air, seperti shalat, thawaf, membaca al_Qur’an.
Penyebab diperblehkan tayamum adalah ketiadaan air, bila ada air yang hanya cukup untuk memberi minum hewan yang dimuliakan dalam pandangan syara’ yang kehausan, sakit yang dikhawatirkan akan bertambah parah bila terkena air.
Hal yang Membatalkan Tayamum yaitu Semua perkara yang membatalkan wudhu, melihat air di luar waktu shalat atau menyangka ada air, dan Murtad

V.          ANALISIS
Allah memberi kemudahan dan keringanan kepada hamba-Nya untuk menjalankan syariat islam. Beberapa kemudahan yang diberikan Allah kepada kita yaitu seperti diperbolehkan mengusap jilbab sebagai penganti mengusap kepala bagi wanita berjilbab. Diperbolehkan mengusap sepatu sebagai pengganti membasuh kaki dan selanjutnya diperbolehkan bertayamum sebagai pengganti wudhu dan mandi junub ketika tidak adanya air.

VI.      PENUTUP
Demikianlah makalah ini saya susun. Saya menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan upaya penyempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat saya harapkan. Semoga dapat bermanfaat.



















DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah. 2010
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia. Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam. Jakarta: As-Sakinah 2003
Al-Bugha, Musthafa Dib. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i. Surakarta: Pustaka Arafah. 2009
Al-Fauzan, Saleh. Fiqih Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani Press. 2005
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algsindo. 1986
Shalih, Su’ad Ibrahim. Fiqh Ibadah Wanita. Jakarta: Amzah. 2011
Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i. Jakarta: Almahira. 2010
Zulkifli bin Mohammad Al-Bikri dkk. Al-Fiqh Al-Manhaji Mazhab Al-Syafie. Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia. 2011






[1] Su’ad Ibrahim Shalih, Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: Amzah, 2011), Hlm. 145
[2] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, fiqh ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 71
[3] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 172-173
[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, fiqh ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 74-75
[5] Musthfa Dib Al-Bugha, Ringkasan Fiqih Mazhab Syafi’I, (Jakarta: Noura, 2012), hlm. 60
[6] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, fiqh ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 77-78
[7] Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 43
[8] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, fiqh ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 101
[9]  Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 184
[10] Zulkifli bin Mohammad Al-Bikri dkk, Al-Fiqh Al-Manhaji Mazhab Al-Syafie, (Kuala Lumpur: Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, 2011), hlm. 232
[11] Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’I, (Surakarta: Pustaka Arafah, 2009), hlm. 63
[12] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, fiqh ibadah, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 105
[13] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 189
[14] Musthafa Dib Al-Bugha, Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’I, (Surakarta: Pustaka Arafah, 2009), hlm. 66
[15] Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam,(Jakarta: As-Sakinah, 2003), hlm. 154